Tuesday, September 05, 2006

MEMBANGUN KOMUNITAS DESA

Saya punya teman yang berdomisili di pelosok Malang Timur. Tepatnya di Wajak. Kalau teman-teman tahu pabrik gula Krebet, masuk saja ke timur. Namun, dalam hubungan persahabatan ini saya belum pernah berkunjung ke rumahnya. Hingga akhir tahun lalu, saya menyempatkan diri kesana, itupun dengan alasan yang kuat, karena dia kecelakaan dan istrinya baru saja melahirkan. Jadi sekalian, menengok teman saya dan sekaligus memberi selamat karena ada kelaurga baru yang dilahirkan.



Memasuki desanya, matahari sudah mulai jatuh ke arah barat, sebuah sore yang cerah. Udara segar agak dingin. Dan tidak ada pagar yang tinggi menjulang di depan rumahnya, seperti rumah di kota. Sepertinya ada rasa kepercayaan bahwa desa ini aman-aman saja, sehingga tidak perlu dibatasi dengan pagar. Semuanya terlihat nyaman dan menyegarkan, banyak bunga dengan bermacam-macam warna. Mendekati rumahnya, ada sebuah rumah yang halamannya hijau, penuh rumput. Mengesankan. Setelah bertemu, saya diajak keliling kampung. Saya kaget, ternyata halaman hijau ini tidak hanya di satu rumah saja, tetapi di rumah lain ada, banyak ruamh yang berhalaman rumput. Bahkan ada kebun luas yang nampak hijau dari kejauhan. Sepertinya, tidak ada lahan kosong yang dibiarkan, semuanya ditanami rumput jepang/manila.

Kalau teman-teman berkunjung kesana, dan dilihat dari atas mungkin desa itu nampak tertutup hijau karpet. Indah dan segar. Tentunya masyarakatnya sejahtera, pikirku kala itu. Kawanku bilang; “tunggu dulu, halaman hijau memang ada didepan rumah, tetapi dompet mereka kering kerontang. Soalnya, rumput2 itu terjual murah. Mereka tidak punya akses keluar, akhirnya tengkulak yang berduyun2 datang”

Nah, terus kami berdiskusi di sepanjang jalan menuju ke rumah. Saya bilang kamu harus cari pembeli yang lebih besar. Buka akses yang lebih luas untuk petani, jangan bergantung ke tengkulak. Temanku menimpali, betul juga sih, tapi kalaupun kita dapat pembeli yang lebih besar, pasti tengkulak punya akal untuk merusak harga di petani. Saya terdiam. Ingatan saya melayang kemana-mana. Kalu tengkulak menawarkan harga yang lebih tinggi, tetapi hanya dibeli sekali, waduh petani yang kelabakan lagi. Mereka yang untung, petaninya buntung terus.

0 comments: